Kamis, 16 April 2009

DAULAH BANI ABBASIYAH (750 – 1258)

I. PENDAHULUAN

Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama seorang dari paman nabi SAW yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthallib ibn Hasyim. Ia seorang pribadi yang tangguh dan memegang peranan penting dalam berdirinya Abbasiyah, sekaligus menjadi kholifah pertama pada dinasti ini.

Meskipun pada awal berdirinya dinasti ini tampak jelas adanya berbagai pembantaian yang mana guna memperkokoh dan menyetabilkan pemerintahan, masa-masa keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya muncul berbagai aliran dan madhab dan lain sebagainya juga mendominasi dalam masa daulah ini. Meskipun pada akkhirnya mengalami masa kehancuran juga seperti pada masa Bani Umayah.

II. PEMBAHASAN

A. Berdirinya Dinasti Abasiyah

Ketika kekholifahan dipegang oleh Umar ibn abd al Aziz, rival-rival politiknya mulai menyusun kekuatan termasuk daei golongan Abbas. Tetapi ia tidak menyebitkan diri sebagai keluasrga Abbas, namun menggunakan Jargon dan symbol Bani Hasyim. Puncaknya , dalam peperangan di Dzab II gerakan Abbasiyah mencapi hasil dengan mengalahkan kholifah Marwan II. Dan al-Abbas (al-Saffah) mendeklarasikan dirinya sebagai kholifah pertama. Usahanya dalam menyetabilkan pemerintahan adalah dengan membasmi rival-rivalnya dan membunuh tokoh-tokoh Umayah. Sebelum wafat ia mengangkat saudaranya, Abu JA’far (al-Manshur) sebagai penggantinya.[1]

Pada masa al-Saffah, pusat pemerintahan berada di anmbar dengan istana negaranya al-Hsyimiyah. Setelah al-Manshur menjadi kholifah, ibu kota dipindah ke Baghdad dengan nama Da al-Salam agar lebih aman. Beliau dan saudaranya, al-Saffah dikenal sebagai pembunuh masal. Bahkan Abu Muslim al-Khurasani sendiri dibunuh atas perintah al-Manshur karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.[2] Pada masanya dalam bidang politik, negara cukup setabil dan maju, setelah ia memadamkan api pemberontakan termasuk gerakan Ustadis di Herat yang menyatakan dirinya sebagai nabi, menguasai Khurasan dan Sizistan yang sangat luas.

Berbagai ekspansi-ekspansi yang dilakukan diantaranya adalah merebut benteng-benteng Asia, Kota Malatia, wilayah Coppacodia, dan Cicillia terus ke Utara melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Setelah Manshur wafat (775M), Mahdi menjadi kholifah, populer bersikap llunak terhadap rival politiknya, lebih dermawan, dan lebih berperan dalam pembelaan Islam. Periodenya identik dengan negra yg aman dan kekayaan negara bertambah. Bahakan kelompok mawali (non Islam) yang semula dari budak selanjutnya telah dimerdekan.

Sebelum wafat, Mahdi menunjuk dua putranya sebagai pewaris kerajaan, Hadi, dan Harun. Ketika kepepimpinan dipegang Hadi, praktik kekhalifahan kembali keras. Ia tidak lagi menghargai mawali yang menjadi tulang punggung saat revolusi dan berdirinnya Abbasiyah. Setelah ia wafat digantikan oleh saudaranya, Harun Ar Rasyid yang mana dibaiat oleh penduduknya menjadi khalifah. Periodenya identik dengan Islam memasuki “The Golden Age of Islam”.[3] Kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan, ilmu engetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Dan dari sinilah mulai muncul berbagai madzhab (Imam Abu Hanifah dan Malikiyah) karena pada masa kepemimpinannya mereka sangat dihargai tidak seperti pada masa sebelumnya d imana mereka dipenjara dan diasingkan.

Abu Hanifah ialah seorang ahli di bidang hokum. Meski ia tidak terlibat langsung dalam pembuatan keputusan-keputusan paradilan bahkan ia sendiri tidak menulis karya-karya mengenai hokum. Tetapi ajarannya dilestarikan oleh para pengikutnya terutama Abu Yusuf dan Asy Syaibani. Karena kecakapan intelektualnya dan pendapat-pendapatnya yang masuk akal, ia memperoleh perhatian istana khalifah dan ditunjuk sebagai qadhi di Baghdad. Bahkan Harun memberikan gelar kepadanya “qadhil qudat” (hakim agung). Seperti Abu Hanifah, Imam Malik juga seorang ahli hukum dan mendapat perlakuan dengan hormat oleh khalifah Al Mahdi dan Harun. Bedanya, ia seorang fuqaha yang bergerak di Madinah, sedangkan Hanifah di Kufah dan Baghdad. Karya utama yang dihasilkan oleh Imam Malik adalah Al Muwatta’.[4]

Setelah Harun wafat (809 M) sesuai wasiatnya, Amin diangkat menjadi khalifah sedangkan Ma’mun sebagai penguasa di Khurasan yang mengakui kedaulatan Amin sebagi khalifah yang sah. Awalnya merka rukun, tetapi akhirnya menjadi konflik dan perang saudara antara Amin dan Ma’mun dan dimenangkan oleh Ma’mun. dari sinilah terdapat perubahan besar atau era baru dalam sejarah. Khalifah baru tidak seperti pendhulunya yang suka berfoya-foya, hidup mewah, pemalas. Ia sangat mencintai ilmu, ilmuwan dan kemajuannya seperti ayahnya, Harun Al Rasyid. Dan ia menyerahkan tugas negara kepada wazir dan fadhal, sedang ia pergi ke Merv dan di sana ia tenggelam dalam keasikan ilmu pengetahuan dengan para cendekiawan dan filosof.

Akan tetapi mereka dalam menjalankan kenegaraan, tidak seperti yang diharapkan oleh Ma’mun. Kemewahan, hidup foya-foya, suka wanita, kekerasan, penyiksaan menjadi corak kepemimpinannya. Bahkan fadhal muali menyiksa para pengikut Imam Ali Reza (menantu Ma’mun). mereka dibunuh dan ada yang dipenjarakan. Penyiksaan dan kelaliman fadhan tidak bertahan lama, beberapa orang pengikutnya dari Persia marah dan akhirnya membunuhnya. Tahun berikutnya, Ma’mun kembali ke Baghdad dan menguasai politik.[5] Salah satu karya besarnya adalah pembangunan Bait Al Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagi perguruan tinggi dan perpustakaan yang besar.[6] Ia juga meresmikan Mu’tazilah sebagai faham.

Abu Ishaq Muhammad (Al Mu’tasim bi Allah), khalifah berikutnya, memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Umayah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan system ketentaraan. Praktek orang muslim mengikuti perang sudah berhenti. Tentara dibina secara khusus menjadai prajurit-prajurit professional.[7]

Di sisi lain dalam bidang ilmu pengetahuan, tidak lagi menjadi sesuatu yang menonjol. Setelah Al Ma’mun wafat, Ahmad ibn Hanbal mendekam dipenjara karena tidak mengakui Mu’tasim sebagai khalifah, di disiksa dan kemudian dilepaskan. Mulai saat itu dan sampai berakhirnya pemerintahan Mu’tasim, beliau beliau tidak memberikan kuliah, kadang-kadang karena dilarang dan kadang-kdang karena dianggapnya tidak aman.[8]

Pada pemerintahan harun ibn Mu’tasim (Wathiq bi Allah), mulai muncul Amir Al Imarah. Jumalah mereka makin lama makin bertambah, menyebabkan tahun-tahun ke depan sejarak Abbasiyah identik dengan sejarah tentara Turki. Sampai pada khalifah Mutawakkil yang merupakan awal kemunduran politik Bani Abbas. Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Mutawakkil wafat, Turkilah yang memilih dan mengangkat khalifah dan terus sampai jajaran-jajaran khalifah di bawahnya. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan khalifah.

B. Berbagai Peristiwa yang Terjadi pada Masa Dinasti Abbasiyah

1. Dinasti Buwayhiah (945-1055 M)

Ketika rod pemerintahan dikuasai oleh bangsa Turki, karena tidak tahan perbuatan-perbuatan kasar terhadap penduduk Baghdad, maka khalifah Al Mustakfi bi Allah (944-946 M) terpaksa mengundang dan meminta bantuan kepada pemimpin Buwayhia, Ahmad ibn Abu Shuza’ yang beraliran Syi’ah. Ahmad menyerang Baghdad (945 M) dan berhasil mengusir tentara Turki. Hal ini merupakan peluang bagi Ahmad yang menjadikan khalifah lemah dan boneknya. Atas namanya, dinasti ini di sebut Dinasti Buwayhia.[9]

Pendiri Buwayhia dengan mengambil gelar Mu’iz al daulah dari Mustakfi bi Allah, ia memerintah sebagai wazir utama (Amir Al Umara’) dengan memakai gelar sultan. Setelah Mu’iz, putranya Iz Al daulah berkuasa (967 M). sejak saat itu, kekuasaan mutlak ada di tangan para wazir atau sultan.

Pada masa Azd Al Daulah, ia memakai gelar sultan dan Shahanshah (penguasa atas penguasa). Pada periode ini, wilayah kekuasaannya sama luasnya semasa khalifah Harun. Kemajuan dalam berbagai bidang mulai sejak periode mu’iz nama pada periode Azd Daulah-lah berbagai bidang terutama sains dan kegiatan ilmiah maju pesat yang mencapi puncaknya. Daerah kekeuasaannyaa meluas sampai Shiraj dan dari Laut Kaspia sampai Teluk Persia. Dinasti ini berdiri kokoh sampai pada masa Sharif Al daulah (983-989 M). sesudah itu, Buhaywia menjadi lemah menuju titik kehancuran, begitu juga Abbasiyah terbelah-belah. Dengan kelemahan mereka mengundang orang Saljuq menguasai politik Baghdad pada tahun 1055 M.

2. Dinasti Saljuq

Tughril beg, cicit dari pendiri dinasti ini, bernama Saljuq mengaalahkan kekuatan Turki cabang lain. Pada saat yang sama, para khalifah Abbasiyah sudah gelisah atas perlakuan Amir Al Umara (Buwayhia). Dalam khutbah Jum’at dibacakan nama khalifah Fatimiah dan Al Muntashir bi Allah (1035-1094 M), menggantikan nama khalifah Abbasiyah tersebut. Dengan permintaan bantuan dari khalifah Qa’im kepada Thughil, maka ia segera masuk Baghdad dan membebaskan khalifah, maka dengan suka cita khalifah memberikan gelar “Sultan Al Masyariq wa Al Maghrib” (penguasa Timur dan Barat) kepadanya.[10] Dari sinilah sultan-sultan mulai menguasai politik Abbasiyah.

Semasa Sultan III, Malik Shah (1073-1092 M) wilayah kekuasaan Saljuq, meliput dari Kashmir di timur dan di Barat sampai Laut tengah, sedang di Utara dari Georgia sampai ke Selatan Yaman. Inilah masa keemasan, di mana berdiri Madrasah Nizamiah yang kemudian menjadi universitas Islam ternama di dunia. Setelah Malik Shah wafat, khalifah Muqtadir (1135-1160 M) terjadi ketidak-cocokan dan konflik berkepanjangan antara amir Al Umara’, Mas’ud dan Mazar. Dan inilah menjadi kesempatan bagi khalifah untuk mengusir semua petinggi Saljuq dari Baghdad setelah Mas’ud wafat.

Dengan lemahnya para pengganti Saljuq, akhirnya wilayah Saljuq terbagi memjadi beberapa kerajaan. Di samping itu, Perang Salib juga membawa kekhalifahan Abbasiyah sudah diambang kehancuran. Saat-saat itulah muncul kekuatan-kekuatan raksasa baru, bangsa Mongol yang mengakhiri kekuasaan Abbasiah di Baghdad.

3. Perang Salib

Pada masa Turki Saljuq, ketika dipimpin oleh Alp Arselan dan mengadakan ekspansi yang terkenal dengan nama peristiwa Manzikart (1071 M0, tentara yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit mampu mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al Akraj, Al Hajr, Perancis dan Rumania. Peristiwa ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuq dapat merebut bait Al Maqdis dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah.

Penguasa Saljuq menetapkan peraturan-peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Namun peraturan ini memberatkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci.[11]

C. Sebab -Sebab Hancurnya Dinasti Abbasiyah

Adapun factor-faktor penyebab kehancuran Abbasiyah, diantaranya sebagai berikut:

1. Faktor intern

Persaingan dan perpecahan di kubu pemerintahan sendiri sering terjadi, mulai pada masa khalifah Al Hadi dan juga khalifah-khalifah setelahnya menjadi pondasi utama lemahnya di sektor intern. Ketidakmampuan atau lemahnya para penguasa memimpin negeri memaksa untuk mencari bantuan dari luar (contoh: Buwayhia, turki Saljuq dan sebagainya), mengatur roda pemerintahan adalah kesalahan besar dan menjadi awal keroposnya system kekhalifahan Abbasiyah.

2. Faktor ekstern

Perlakuan buruk terhadap kaun Kristen menjadikan timbulnya sifat benci, dendam kepada masyarakat Muslim oleh kaum Kristen. Yang akhirnya dituntaskan dengan munculnya peristiwa besar yakni Perang Salib. Di sisi lain, serangan tentara Mongol mengepung kota Baghdad selama 2 bulan oleh Hulagu khan adalah akhir riwayat Abbasiyah setelah pembantaian yang menelan korban 800.000 orang dan dibunuhnya khalifah mereka.

III. KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa kerajaan Abbasiyah didirikan oleh al-abbas paman nabi. Masa – masa kejayaannya hanya sampai pada khalifah Mutawakkil, hal ini dikarenakan setelah masa khalifah tersebut Abbasiyah sudah bercampur dengan daulah-daulah kecil lainnya. Meski begitu, berbagai kemajuan telah berhasil diciptakannya khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan juga penyebaran Islam.

IV. PENUTUP

Demikianlah makalah yang kami susun, apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan maupun penjelasannya kami mohon maaf serta mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007)

Badri Yatim, Sejarhg Peradaban Islamii: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003)

Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Cet. I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana yogya, 1990)



[1] Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 144.

[2] Badri Yatim, Sejarhg Peradaban Islamii: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 50.

[3] Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Op. cit., hlm. 149.

[4] Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Cet. I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana yogya, 1990), hlm. 126-127.

[5] Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Op. cit., hlm. 153.

[6] Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 53.

[7] Ibid.

[8] Montgomery Watt, Op. Cit., hlm. 133.

[9] Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Op. cit., hlm. 157.

[10] Ibid., hlm. 158.

[11] Badri yatim, Op. Cit., hlm. 76-77

ALTERNATIVE OF MATH

“Banyak jalan menuju Roma”, banyak cara yang bisa kita tempuh dalam mencapai sebuah tujuan. Seperti dalam matematika, sebenarnya untuk mencari sebuah jawaban tidak hanya ada satu cara akan tetapi ada alternatif lain yang lebih singkat yang bisa kita gunakan.

Pada tulisan ini, penulis (sebagai mantan anak asuhan IPA) memberikan alternatif lain untuk memperoleh jawaban mengenai perkalian kuadrat di bawah 100. Mulai tipe bilangan 1,2,3, dan 5 disamping menggunakan cara lama yaitu cara bersusun.

A. Perkalian Kuadrat Mulai 11x11 sampai 91x91 (Tipe Bilangan Satu)

Dalam perkalian ini bilangan dibagi menjadi tiga bagian: bilangan depan, tengah, dan bilangan belakang.

Contoh 1, 11x11 = ? ? ?

Pertama, bilangan belakang pada tipe ini pasti bernilai Satu.

Ditulis 11x11= ? ? 1

Kedua, bilangan tengah adalah hasil penjumlahan angka yang berada di depan, sehingga 1+1= 2.

Ditulis 11x11= ? 2 1

Ketiga, bilangan depan adalah hasil perkalian dari angka yang ada di berdepan, sehingga 1x1= 1.

Ditulis 11x11= 1 2 1

Jadi hasil dari 11x11 adalah 121.

Contoh 2, 51x51= ? ? ?

Pertama, bilangan belakang bernilai Satu.

Ditulis 51x51= ? ? 1

Kedua, bilangan tengah hasil penjumlahan 5+5= 10. Karena terdapat dua angka 1&0 maka bilangan tengah ditulis 0 dan angka 1 disimpan yang nantinya dijumlahkan pada bilangan depan.

Ditulis 51x51= ? 0 1

Ketiga, bilangan depan adalah perkalian 5x5= 25 dan ditambah angka yang disimpan tadi, sehingga 25+1= 26.

Ditulis 51x51= 26 0 1

Maka hasil dari 51x51 adalah 2.601. Dan seterusnya sampai perkalian 91x91.

B. Perkalian Kuadrat Mulai 12x12 sampai 92x92 (Tipe bilangan “2”)

Caranya masih sama yaitu dengan membagi menjadi tiga bagian.

Contoh 1, 12x12= ? ? ?

Pertama, bilangan belakang pada tipe ini pasti bernilai 4.

Ditulis 12x12= ? ? 4

Kedua, bilangan tengah adalah penjumlahan angka yang berada di depan yang kemudian dikalikan 2, sehingga 1+1= 2 dikali 2 hasilnya 4.

Ditulis 12x12= ? 4 1

Ketiga, bilangan depan adalah hasil perkalian angka yang berada di depan, sehingga 1x1= 1.

Ditulis 12x12= 1 4 4

Maka hasil dari 12x12 adalah 144

Contoh 2, 52x52= ? ? ?

Caranya sama, namun karena hasil pada bilangan tengah adalah 20 (terdapat angka 2&0) maka ditulis angka 0 dan angka 2-nya disimpan yang nantinya dijumlahkan pada bilangan depan.

Ditulis 52x52= ? 0 4

Kemudian bilangan depan, 5x5= 25 dan ditambah dengan angka yang disimpan tadi, sehingga 25+2= 27.

Ditulis 52x52= 27 0 4

Begitu seterusnya sampai perkalian 92x92.

C. Perkalian kuadrat Mulai 13x13 sampai 93x92 (Tipe bilangan “3”)

Caranya masih dengan membagi menjadi 3 bagian.

Contoh 1, 13x13= ? ? ?

Pertama, bilangan belakang pada tipe ini pasti bernilai 9.

Ditulis 13x13= ? ? 9

Kedua, bilangan tengah adalah hasil penjumlahan angka yang berada di depan yang kemudian dikalikan 3, sehingga 1+1= 2 dikalikan 3 hasilnya 6.

Ditulis 13x13= ? 6 9

Ketiga, bilangan depan juga hasil perkalian angka yang berada di depan.

Ditulis 13x13= 1 6 9



D. Perkalian Kuadrat Mulai 15x15 Sampai 95x95 (Tipe Bilangan “5”)

Tipe pada bilangan ini adalah yang paling mudah dibanding tipe lainnya. Caranya berbeda jauh dari tipe sebelumnya. Bilangan hanya dibagi mebjadi 3 bagian, depan dan belakang.

Contoh 1, 15x15= ? ?

Pertama, bilangan belakang pasti bernilai 25.

Ditulis 15x15= ? 25

Kedua, angka yang berada di depan dikalikan dengan angka setelahnya. Angka di depan adalah 1 dikalikan angka setelahnya yaitu 2 hasilnya 2.

Ditulis 15x15= 2 25

Contoh 2, 65x65= ? ?

Bilangan belakang bernilai 25.

Ditulis 65x65= ? 25

Kedua, angka yang berada di depan adalah 6 kemudian dikalikan angka setelahnya yaitu 7 hasilnya 42.

Ditulis 65x65= 42 25

Sehingga hasilnya adalah 4.225. Demikian seterusnya.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga dapat memberikan faedah pada kita semua. Amiiin.

Penulis: Muh. Nurul Huda

( Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Ws Semarang )

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM

I. PENDAHULUAN

Hukum pada intinya merupakan suatu aturan yang mengikat pada tiap diri seseorang sebagai kontrol, dan dengan kontrol itu diharapkan seseorang tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar batas dan nantinya akan merugikan orang lain. Hukum itu sendiri muncul karena pada dasarnya setiap diri manusia memiliki dua sifat yang cenderung bertentangan. Yang satu selalu ingin melakukan kebaikan karena memang manusia pada dasarnya memiliki nurani yang bersih namun pada sisi yang lain manusia juga tak terlepas dari “nafsu ” memiliki keinginan untuk berbuat sesuatu (makan, minum, berbuat kemaksiatan, dll) . Untuk itu, perlu adanya sebuah pembatas sebagai kontrol agar terciptanya sebuah ketenteraman dan kemaslahatan dalam sebuah masyarakat.

Dalam hal ini yang menjadi persoalan dasar adalah hukum yang pernah diterapkan dalam sebuah masyarakat itu beragam. Kita ambil contoh saja hukum Islam dan hukum positif yang mana keduanya sama-sama mengikat. Dan tentu prinsip dari masing-masing hukum itu berbeda pula. Hukum positif tidak diperbolehkan menembus pada aspek privat, yakni hal-hal yang tidak berimplikasi pada publik. Sedangkan hukum Islam sebaliknya, yakni mengatur hal-hal yang demikian. Misalkan, setiap orang Islam harus melaksanakan sholat fardhu. Tentu apabila ada orang yang tidak melaksanakannya tidak akan dihukum melalui pengadilan sebagai lembaga eksekusi hukum positif.


II. LATAR BELAKANG MASALAH

Menanggapi dari pendahuluan tadi, pemakalah akan mengulas bagaimana sebenarnya karakteristik dari hukum Islam yang membedakan dengan hukum lainnya itu, mengapa hukum Islam mengatur sampai pada aspek moral pada setiap insan. Padahal hukum positif tidak mengikat sampai hal yang sekecil itu.


III. PEMBAHASAN

A. Hukum Islam Bersifat Sempurna dan Universal

Allah adalah Tuhan yang Mahasempurna, maka hukum yang Dia buat harus sempurna pula. Karena apabila tidak, tentu berdampak pada persepsi manusia. Mereka akan meragukan kepercayaannya mengenai adanya Tuhan di alam ini. Dalam asma’ul husna disebutkan bahwa Ia memiliki sifat اول, أخر, ظاهر, باطن, yang pertama, dan terakhir, yang dhohir dan batin. Jadi Ia juga memiliki hukum yang berlaku sepanjang zaman. Bukan hanya mengatur pada aspek legal kemasyarakatan tetapi juga mengatur kepentingan-kepentingan ukhrawi.[1] Hal ini bisa dipahami melalui kata ظاهر, kita bisa memaknai bahwasanya hukum yang bersifat dhohir adalah hukum yang mengikat/mengatur tentang keduniaan. Dan bisa dikatakan cakupan hukum yang dhohir sama dengan hukum positif yang biasa diberlakukan bagi warga negara. Yang kedua kata باطن, kita bisa memaknai bahwasanya hukum yang bersifat batin adalah hukum yang mengatur pada aspek ukhrawi. Dan inilah yang tidak dimiliki oleh hukum positif lainnya.

Dalam bukunya Dr. Muhammad Muslehuddin (1991 : 48), Jackson telah mengungkapkan :

Hukum Islam menemukan sumber utamanya pada kehendak Allah sebagaimana diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ia menciptakan sebuah masyarakat mukmin, walaupun mereka mungkin terdiri atas berbagai suku dan berada di wilayah-wilayah yang amat jauh terpisah. Agama, tidak seperti nasionalisme atau geografi, merupakan suatu kekuatan kohesif utama. Negara itu sendiri berada di bawah (subordinate) Al-Qur’an, yang memberikan ruang gerak sempit bagi pengundangan tambahan, tidak untuk dikritik maupun perbedaan pendapat. Dunia ini dipandang hanya sebagai ruang depan bagi orang lain dan sesuatu yang lebih baik bagi orang yang beriman. Al-Qur’an juga menentukan aturan-aturan bagi tingkah laku menghadapi orang-orang lain maupun masyarakat untuk menjamin sebuah transisi yang aman. Tidak mungkin memisahkan teori-teori politik atau keadilan dari ajaran-ajaran Nabi, yang menegakkan aturan-aturan tingkah laku, mengenai kehidupan beragama, keluarga, sosial, dan politik. Ini menimbulkan hukum tentang kewajiban-kewajiban daripada hak-hak, kewajiban moral yang mengikat individu, dari mana tidak (ada otoritas bumi yang) bisa membebastugaskannya, dan orang-orang yang tidak mentaatinya akan merugikan kehidupan masa mendatangnya.

Dari ungkapan Jackson di atas, telah jelas bahwa Islam menentukan aturan-aturan tingkah laku mengenai hal-hal yang bersifat legal kemasyarakatan/publik, yang diungkapkan pada kalimat : “ajaran-ajaran Nabi, yang menegakkan aturan-aturan tingkah laku, mengenai kehidupan beragama, keluarga, sosial, dan politik”. Dan yang kedua, mengenai aspek moral/individu, yang diungkapkan pada kalimat terakhir. Inilah ciri utama yang dimiliki hukum Islam yang tidak ada bandingannya.

Yang kedua hukum Islam itu bersifat universal. Mencakup seluruh manusia ini tanpa ada batasnya. Tidak dibatasi pada negara tertentu, benua, daratan, atau lautan. Seperti halnya pada ajaran-ajaran nabi sebelumnya.[2] Misalkan, Nabi Musa hanya mencakup pada kawasan Mesir dan sekitarnya, Nabi Isa mencakup pada kawasan Israel, dan lain sebagainya. Ini didasarkan pada Al-Qur’an yang memberikan bukti bahwa hukum Islam tersebut ditujukan kepada seluruh manusia di muka bumi. Allah berfirman :


Artinya : “Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, untuk membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (As-Saba’ : 28)


Artinya : “Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Al-Anbiyya’ : 107)


B. Dinamis dan Elastis

Hukum Islam bersifat dinamis yang berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.[3] Atau bisa dikatakan sangat cocok untuk diterapkan pada setiap zaman. Mungkin ada beberapa orang yang berasumsi bahwa kedinamisan suatu hukum itu tidak mungkin terjadi. Pada dasarnya sesuatu di alam ini akan berubah, begitu juga sebuah hukum yang sudah pasti bisa berubah sewaktu-waktu. Untuk itu, sifat dinamis ini harus dikaitkan dengan sifat elastis (luwes). Lalu bagaimana sifat elastis pada hukum Islam ini dapat kita lihat? Dalam Islam, kita kenal dengan sebutan ijtihad yang mana menurut Iqbal di sebut dengan “prinsip gerak dalam Islam”.[4] Ijtihad ini memungkinkan bagi orang Islam untuk menyesuaikan hukum yang ada pada masa Rasul (saat hukum Islam diciptakan) dengan keadaan sekarang yang terjadi di lingkungannya. Inilah yang disebut dengan keelastisan hukum Islam.

Sifat dinamis dan elastis ini dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya adalah jual beli yang sesuai dengan syariat Islam. Pada masa Rasulullah, jual beli dilakukan dengan saling tatap muka, artinya antara si penjual dan si pembeli saling bertemu untuk melakukan akad. Tetapi pada zaman sekarang ini, jual beli bahkan tanpa hadirnya salah satu orang tersebut bisa dilakukan seperti di Swalayan, Plaza, Mall, dan sebagainya. Nah, dari persoalan ini bagaimana kedudukan hukum Islam menanggapi sistem seperti ini agar jual beli itu sesuai dengan syari’at Islam. Untuk itu, perlu adanya hukum asal/nash yang menerangkan jual beli. Diantaranya Q.S. Al-Baqarah : 275 dan 282, An-Nisa’ : 29, Al-Jum’ah : 9.


“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Prinsip dihalalkannya jual beli dari ayat-ayat tersebut adalah adanya kerelaan antara kedua belah pihak, bukan termasuk riba, tidak dilakukan pada waktu Jum’at, dan sebagainya. Fathurrahman Djamil mengatakan bahwa “Ijab dan Qabul dalam jual beli adalah untuk menunjukkan prinsip an taradhin. Ketika prinsip tersebut terpenuhi, meski tanpa lafal ijab dan qabul seperti ketika masuk plaza, maka hukumnya sah.”


C. Sistematis

Hukum Islam memiliki sifat yang sistematis, artinya bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah ajaran yang sangat bertalian. Beberapa diantaranya saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Contohnya saja wajibnya hukum shalat tidak terpisahkan dengan wajibnya hukum zakat. Itu menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan aspek kebatinan saja yang mengutamakan hal-hal ukhrawi tetapi juga diperintahkan untuk mencapai aspek keduniaan.[5] Al-Qur’an menyebutkan :

اعمل لدنياك كانك تعيش ابدا واعمل لاخرتك كأنك تموت غدا

Artinya : “Bekerjalah kamu untuk kepentingan duniawimu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah kamu untuk kepentingan ukhrawimu seakan-akan kamu akan mati besok.”

Fathurrahman Djamil mengungkapkan bahwa “hukum Islam senantiasa berhubungan satu dengan yang lainnya. Hukum Islam tidak bisa dilaksanakan apabila diterapkan hanya sebagian dan ditinggalkan sebagian yang lain.” Seperti halnya ayat di atas, kita dapat menganalisa bahwa apabila kita hanya selalu beribadah untuk mencapai akhirat dengan mengabaikan hal-hal keduniaan, pasti pencapaian tersebut tidak akan terwujud. Karena untuk menuju kehidupan akhirat itu tentu kita harus menjalani kehidupan dunia ini.


D. Memperhatikan Aspek Kemanusiaan dan Moral

Manusia merupakan mahluk sosial di mana ia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan orang lain. Untuk itu sifat tolong menolong merupakan hal yang wajib bagi setiap insan. Dalam hukum Islam dikenal dengan istilah ta’awun, zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang kesemuanya itu merupakan wujud kemanusiaan yang sangat dijunjung tinggi oleh nilai-nilai hukum Islam.[6] Ayat-ayat hukum yang menunjukkan bahwa kewajiban manusia untuk saling tolong-menolong di jelaskan pada ayat berikut :

وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان

Artinya : “Bertolonglah-tolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong atas (perbuatan) dosa dan permusuhan.

Sedangkan mengenai hukum diwajibkannya zakat, dijelaskan dalam surat At-Taubah ayat 60, berbunyi :


Artinya : “Sesungguhnya shodaqoh (zakat) itu diberikan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf, hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, untuk memperjuangkan agama Allah (sabilillah), dan Ibnu sabil. Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Yang kedua adalah aspek moral, untuk membentuk suatu interaksi sosial kemanusiaan tentu manusia harus memiliki aspek moral (akhlaq) yang baik. Karena untuk mewujudkan pergaulan yang sehat, akhlaqlah yang menjadi pondasi utama. Bila akhlaq itu sudah terkontaminasi dengan keburukan dan kemaksiatan, maka tidak akan mewujudkan suatu pergaulan sosial yang baik dan nantinya juga dapat berimbas pada pelanggaran aturan-aturan hukum positif. Dalam Al-Qur’an disebutkan :


Artinya :”Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta banyak mengingat kepada Allah.” (Q.S. Al-Ahzab : 21)


IV. KESIMPULAN

Dilihat dari berbagai karakteristik hukum Islam yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek moral (privat) pada hukum Islam yang mengikat pada setiap diri insan itu bertujuan untuk kepentingan akhirat mereka. Berbeda dengan hukum positif yang hanya mengedepankan aspek legal. Ini disebabkan, hukum positif hanya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang aman dan tenteram dalam berkehidupan. Namun, hukum Islam mengatur kedua hal tersebut.


V. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami yakin dalam pemaparan materi makalah ini masih ada banyak kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami yang selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1991

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 1997

Usman, Suparman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), .hal 64

Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987




[1] Dr. Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hal 47

[2] DR. H. Fathurrahman Djamil, M.A., Filsafat Hukum Islam, (Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 49

[3] Prof.. Dr. H. Suparman Usman, S.H., Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), .hal 64

[4] DR. H. Fathurrahman Djamil, M.A., Op. Cit., hal 48

[5] Ibid., hal 51

[6] Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987, hal 98